KISARAN – Kabar73.com || Seorang pejabat desa di Kabupaten Asahan berinisial BB, yang menjabat sebagai Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Sidomulyo, Kecamatan Tinggi Raja, kini resmi menjadi tersangka dalam kasus penggunaan ijazah palsu. Penetapan status hukum tersebut dilakukan setelah aparat kepolisian menemukan bukti kuat bahwa BB menggunakan dokumen pendidikan palsu saat mencalonkan diri sebagai anggota BPD.
Kasus ini ditangani oleh Unit Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Satreskrim Polres Asahan. Kapolres Asahan melalui Kasat Reskrim, AKP Ghulam, membenarkan bahwa penangkapan terhadap BB telah dilakukan berdasarkan laporan masyarakat yang meragukan keabsahan ijazah paket C yang diajukan saat proses seleksi keanggotaan BPD.
“Setelah dilakukan penyelidikan dan gelar perkara, kami menemukan bahwa ijazah yang digunakan oleh tersangka ternyata bukan miliknya, melainkan atas nama orang lain. Ini jelas merupakan tindak pidana penggunaan dokumen palsu,” tegas AKP Ghulam dalam keterangannya kepada media pada Selasa (3/6/2025).
Laporan yang memicu penyelidikan ini berasal dari warga desa, bukan dari internal pemerintahan desa. Polisi menegaskan bahwa pengaduan tersebut murni bentuk kepedulian masyarakat terhadap integritas penyelenggara pemerintahan di tingkat desa.
“Yang melapor adalah warga, bukan kepala desa. Ini bentuk kepedulian terhadap transparansi dan keabsahan dokumen publik,” jelas AKP Ghulam lebih lanjut.
BB diketahui mulai menjabat sebagai Ketua BPD sejak tahun 2023 dan selama menjabat telah menerima gaji yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) Sidomulyo. Kini, dengan mencuatnya kasus hukum ini, seluruh hak dan jabatannya berada dalam peninjauan, dan statusnya sebagai pejabat desa pun dipertanyakan.
Penyidik menegaskan bahwa proses hukum yang dijalankan telah mengikuti standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku. Setelah BB ditetapkan sebagai tersangka, ia langsung ditahan di Mapolres Asahan untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Atas perbuatannya, BB dijerat dengan Pasal 69 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ketentuan ini menyebutkan bahwa penggunaan ijazah palsu merupakan pelanggaran hukum yang dapat dikenakan hukuman maksimal lima tahun penjara dan/atau denda hingga Rp500 juta.
Saat ini, penyidik juga mendalami kemungkinan adanya pihak lain yang terlibat dalam penerbitan ijazah palsu tersebut. Polisi membuka peluang adanya pengembangan kasus apabila ditemukan indikasi jaringan pemalsuan dokumen pendidikan yang lebih luas.
Kasus ini menjadi peringatan penting bahwa integritas dokumen dalam proses seleksi jabatan publik harus dijaga dan diawasi dengan ketat demi menciptakan pemerintahan desa yang bersih dan akuntabel. (red)