Jakarta – Kabar73.com Pendekatan restorative justice (keadilan restoratif) menjadi salah satu langkah progresif dalam reformasi hukum di Indonesia. Konsep ini membawa perubahan paradigma dalam sistem peradilan dengan menekankan pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat, daripada sekadar penghukuman.
Affandi Affan, SH, MH, CTA, seorang praktisi hukum sekaligus Sekretaris PP Pemuda Muhammadiyah, menyatakan bahwa restorative justice adalah kunci untuk menjawab tantangan keadilan hukum di Indonesia. “Pendekatan ini menciptakan keseimbangan yang diperlukan antara hak korban, tanggung jawab pelaku, dan kebutuhan masyarakat. Dengan restorative justice, kita tidak hanya menyelesaikan perkara, tetapi juga membangun kembali harmoni sosial yang rusak akibat tindak pidana,” ujar Affandi dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (13/12/2024).
Penerapan restorative justice di Indonesia memiliki dasar hukum yang kokoh, tercermin dalam beberapa peraturan penting berikut:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 184 ayat (1) KUHP mengatur bahwa hakim dapat mempertimbangkan penyelesaian konflik melalui perdamaian antara pelaku dan korban, khususnya untuk tindak pidana ringan.
2. Peraturan Kejaksaan RI No. 15 Tahun 2020 Pasal 8 ayat (2) memungkinkan penghentian penuntutan jika pelaku dan korban mencapai kesepakatan damai. Pendekatan ini bertujuan untuk memulihkan hubungan, asalkan kerugian telah diperbaiki.
3. Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 202, Peraturan ini mendorong polisi untuk menangani kasus pidana ringan dengan pendekatan restorative justice. Pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa langkah ini bertujuan menciptakan perdamaian sebelum kasus berlanjut ke proses hukum lebih lanjut.
4. Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2018, Peraturan ini memberikan panduan bagi hakim untuk memfasilitasi mediasi antara pelaku dan korban sebagai bagian dari sistem peradilan yang restoratif.
Pendapat Ahli tentang Restorative Justice
Prof. Muladi dalam bukunya “Restorative Justice: Sebuah Perspektif Hukum Progresif” menyebutkan bahwa pendekatan ini adalah solusi humanis yang tidak hanya berfokus pada penghukuman, tetapi juga pada pemulihan sosial. Ia menjelaskan bahwa restorative justice membantu mengurangi tekanan pada sistem peradilan sekaligus menciptakan harmoni sosial.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Prof. Satjipto Rahardjo dalam “Hukum dan Perubahan Sosial”. Menurutnya, hukum harus menjadi alat untuk menciptakan keseimbangan sosial. “Restorative justice adalah manifestasi hukum yang lebih humanis, yang menjembatani keadilan formal dan kebutuhan sosial,” tulisnya.
Affandi Affan yang juga Managing Partners Serambi Law Firm menambahkan, “Restorative justice adalah paradigma baru yang harus diutamakan oleh aparat penegak hukum. Dengan mengutamakan rekonsiliasi dan pemulihan, kita dapat mengurangi residivisme, meringankan beban sistem peradilan, dan menciptakan sistem hukum yang lebih manusiawi.”
Affandi menekankan bahwa aparat penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hingga hakim, harus menjadikan pendekatan ini sebagai prioritas. “Dengan penerapan restorative justice, tidak hanya beban institusi hukum yang berkurang, tetapi kita juga dapat mencegah dampak sosial yang lebih besar dari proses hukum yang berlarut-larut,” tegasnya.
Penerapan restorative justice yang berlandaskan hukum merupakan jawaban nyata atas tantangan hukum modern. Dengan fokus pada keadilan sosial, pendekatan ini tidak hanya membantu menyelesaikan perkara, tetapi juga memperkuat harmoni masyarakat Indonesia. (red)